Semarang Selayaknya Setara

Loenpia.Net

Semarang, secara tidak langsung tergabung dalam aliansi semu tiga kota di pusat Pulau Jawa. JOGLOSEMAR, Jogja-Solo-Semarang begitu orang dengan ringkas menyebutnya. (Terlepas nama ini menjadi brand dari sebuah travel agent yang memang mempunyai trayek tiga kota tersebut) Mempunyai rangkaian hubungan baik dari historis sampai pada diplomatis. Jarak ketiganya yang relatif dekat satu dengan yang lain menjadikan banyak sekali ‘daerah irisan himpunan’ antara ketiganya.

Kecuali Semarang, kedua kota tersebut sudah mendapatkan jati dirinya secara nyaman. Perlahan berkembang menjadi kota yang besar tetapi tetap bersahaja, tetap berlandaskan budaya Jawa. Paling tidak baik Jogja maupun Solo mempunyai citra diri mereka sendiri. Sesuatu yang identik dengan mereka, yang dapat dipasang ke kaos-kaos dan stiker-stiker. Ditaruh pada tiap-tiap kegitan. Menjadi simbol dari sebuah kota.

semarang-setara

Sementara Semarang, sampai sekarang tampak masih kebingungan mencari jati diri. Konon dahulu pernah ada usaha serupa untuk kota Semarang. Dengan SEMARANG, BEAUTY OF ASIA. Lalu SEMARANG, PESONA ASIA. Dan yang paling keras yang saya dengar adalah slogan SEMARANG SETARA. Saya anggap: suatu sikap kerendahan hati untuk mengakui bahwa kota Semarang ternyata belum setara, belum sejajar terhadap kota-kota lain di sekitarnya. Sebut saja Jogja dan Solo. Tentunya masih teramat jauh dengan Surabaya, Bandung ataupun Jakarta.

Beberapa pihak mengatakan konsep semacam ini adalah city branding. Dari artikel ini dinyatakan bahwa city branding adalah proses atau usaha membentuk merek dari suatu kota untuk mempermudah pemilik kota tersebut untuk memperkenalkan kotanya kepada target pasar (investor, tourist, talent, event) kota tersebut dengan menggunakan kalimat posisitioning, slogan, icon, eksibisi, dan berbagai media lainnya. Dan yang terpenting dikatakan bahwa city branding semata-mata bukanlah pekerjaan dari public sector, akan tetapi tugas dan kolaborasi dari semua pihak (stakeholders) yang terkait dengan kota tersebut, apakah itu pemerintah kota, pihak swasta, pengusaha, interest group dan masyarakat.

Ada yang menyebutkan bahwa biaya untuk membangun city branding ini sangatlah mahal. Sebutlah bilangan puluhan juta bahkan ratusan juta untuk menancapkan suatu kesan pada sebuah kota. Mustahil ada pihak swasta tanpa bekal melimpah atau tanpa injeksi dari pemerintah dapat melakukan hal ini. Ada pula yang mengatakan ini hanyalah murni kepentingan dari Pemerintah Kota, dan dapat ditebak sampai sekarang memang belum kunjung terlihat gereget untuk membangun ini. Atau masih setia menunggu datangnya Jokowi II yang akan memimpin kota ini?

Kemudian kita masih tetap berdiri di posisi ini, melihat kedua tetangga kita dengan berusaha mengadah ke atas.

Padahal, telah diwariskan kepada kita oleh nenek moyang istilah dari gotong royong (yang selanjutnya Dunia Barat mengadopsinya dengan istilah keren crowd-founding). Bagaimana dahulu mereka membangun jembatan yang besar dapat dikerjakan secara bersama-sama. Membangun rumah-rumah secara bersama-sama. Dengan gotong royong, pekerjaan besar mungkin dilakukan meskipun tanpa campur tangan dari para penguasa sama sekali. Dan dua hal menurut saya yang amat diperlukan dalam gotong royong ini adalah perhatian dan koordinasi.

Perhatian, bahwasanya ada sekumpulan orang-orang yang sama-sama menaruh perhatian pada masalah yang sama. Yang tidak hanya pura-pura tak melihat ketika ada sebuah ketidak beresan. Dan koordinasi, proses untuk memadukan berbagai energi yang keluar dari ‘perhatian’ dan aktivitas dari berbagai pihak yang terlibat, supaya tujuan besar yang dicita-citakan dapat tercapai. Jika dua unsur tersebut dapat digenapi, maka proses untuk gotong royong demi sebuah tujuan ini niscaya akan tercapai.

Lalu selanjutnya, menjadi pentinglah arti dari berbagai komunitas dan individu kreatif yang ada di Semarang. Syarat yang pertama mereka haruslah menaruh perhatian yang sama kepada permasalah ini. Kebutuhan akan satu konsep untuk dapat merepresentasikan kota ini.

Mengenai sumber daya manusia, saya kira teramat banyak lah komunitas dan individu kreatif yang karena belum dikoordinasikan (syarat kedua) maka mungkin mereka masih bergerak secara sendiri-sendiri.Banyak komunitas berbasis desain atau desainer grafis papan atas yang jika mau dapat menyumbangkan ide mereka untuk mencitrakan kota ini. Lalu komunitas berbasis sosial media, dan blogger yang dapat dengan mudah menyebarkan secara viral isu ini dan semoga kelak hasilnya melalui media maya. Dan tak terhitung pula komunitas dan aktivis lainmya yang dapat pula urun rembug pikiran maupun materi yang dapat membantu mencapai tujuan.

Sehingga kelak kita mempunyai sesuatu yang sama yang dapat dipasang ke kaos-kaos dan stiker-stiker. Ditaruh pada tiap-tiap kegitan. Menjadi simbol dari kota ini.

Permasalahannya tinggal bagaimana mengajak orang lain ikut memberi ‘perhatian’ dan selanjutnya mengatur energi yang keluar ke dalam sebuah bentuk ‘koordinasi’ yang efektif.

Selagi permasalah ini masih bisa kita kerjakan, mari kita kerjakan. Urusan ke depan, apakah penguasa mau mengakui atau tidak terserah mereka. Terpenting, ada niatan baik dan gerakan dari akar rumput masyarakat yang bergotong royong bersama dan beritikat baik untuk kota ini

Semarang sudah selayaknya setara, nda!

 

Keterangan : Postingan ini merupan salinan dari blog pribadi penulis http://kamartengah.wordpress.com/2013/10/16/semarang-selayaknya-setara/

 

Artikel yang Direkomendasikan

2 Komentar

  1. Ayo nda bareng bareng ngangkat Semarang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *