Warung Hik dan Budaya Jagongan

Cobalah Anda sesekali berputar mengelilingi Kota Semarang kala malam tiba. Kerlap-kerlip lampu malam yang menghiasi jalanan besar amat interaktif untuk memanjakan mata. Bukan itu saja pemandangan eksotis yang menarik. Ada warung angkringan yang terkenal dengan warung hik dengan menu andalan sego kucing. Ratusan warung hik yang “ngetem” di berbagai sudut kota, mulai dari trotoar di lingkungan Kampus sampai dengan lingkungan perumahan, dan masih banyak lagi, adalah “aset sekaligus kantong bisnis” yang pantas dikembangkan.

Predikat kota dengan banyaknya Pedagang Kaki Lima (PKL) bagi Semarang, tampaknya bukan sesuatu yang tanpa alasan. Tidak dapat dimungkiri bahwa hampir segala sendi kehidupan keseharian masyarakat Semarang banyak dipengaruhi oleh keberadaan para PKL di kota itu.

Untuk lingkungan yang berdekatan dengan kampus, kegiatan sosial ekonomi masyarakat Semarang penuh warna nuansa mahasiswa. Berbagai kegiatan usaha ekonomi banyak yang berbasis pada kebutuhan keseharian mahasiswa. Dari toko buku, fotokopi, komputer, jasa pengetikan, laundy, toko alat tulis, usaha informasi, rumah kontrakan dan kamar kost, hingga warung makan. Semua tersedia dari yang berharga murah hingga mahal, sesuai dompet mahasiswa.

Khusus untuk warung makan selain tersegmentasi karena faktor harga, juga dapat dibedakan antara warung makan permanen dan warung tenda kakilima. Kalau warung makan permanen kebanyakan buka dari pagi hingga menjelang malam, warung tenda kakilima menggelar dagangan sejak terbenamnya matahari hingga larut malam.  Diantara warung tenda terdapat warung hik dengan penerangan yang terbatas, yang menawarkan berbagai makanan murah meriah.

Banyak pemilik warung hik ini berasal dari luar daerah namun mengadu nasib dengan ikut meramaikan suasana malam Kota Semarang. Lebih asyiknya lagi, rata-rata harga makanan di warung hik ini, yang relatif murah, sehingga membuat ketagihan para pembeli, khususnya bagi para mahasiswa berdompet tipis. Warga pendatang yang kebanyakan berstatus mahasiswa umumnya juga lebih senang berlama-lama di warung hik.

Kehidupan mahasiswa yang penuh warna bagai tercermin dalam kehidupan warung makan dilingkungan kampus di Semarang. Dari makanan sekelas hotel dan cafe hingga sego kucing semua tersedia. Selanjutnya tergantung kemampuan mahasiswa dalam memanjakan perutnya. Nyatanya, hampir tiap malam warung itu selalu penuh dengan pengunjung. Larutnya malam tidak mempengaruhi hingar-bingar kemeriahan warung makan.

Bagi mereka yang berkantung tipis, pilihan akan jatuh ke warung hik. Tenda dengan penerangan yang terbatas dan angkring sebagai tempat menggelar dagangan sekaligus berfungsi sebagai meja makannya ini, di kalangan mahasiswa dikenal sebagai “warung hik alias sego kucing”. Di warung angkring ini dapat makan sebungkus nasi berlauk ikan teri dan sambal berharga sekitar Rp 2000. Lumayanlah sebagai pengganjal perut sambil menunggu kiriman uang datang. Aneka gorengan dan makanan lain juga dapat diperoleh disini, dengan aneka wedang yang dapat menghangatkan badan di malam yang dingin.

Tentu saja, format warung hik dari segi bisnis memiliki prospek cerah bagi pengembangan finansial berbasis kerakyatan. Hanya saja yang perlu diperhatikan, kebersihan dan keindahan warung hik tersebut perlu ditinjau kembali. Mengingat, kerap dijumpai gerobak dan tenda tempat warung hik itu didirikan tak memperhatikan aspek kebersihan (higinies).

Harapan kita, dengan kehadiran warung hik yang tertata apik di berbagai sudut dan pinggiran jalanan, akan mampu menambah nilai jual kota ini sebagai kota pariwisata. Idealnya lagi, jika pemerintah daerah sudi memberikan “suntikan dana” guna mengembangkan konsep mentah warung hik ini.

Satu hal yang menarik di warung hik adalah suasana jagongan penuh canda disertai diskusi berbagai hal. Dari masalah politik dengan hingar bingar pemilu presiden, soal ujian, perselingkuhan, cinta segitiga, cewek adik angkatan hingga guyonan dosen killer dapat dikupas tuntas disini. Hadirnya warung hik menjawab kebutuhan akan sebuah ruang yang bisa digunakan untuk bertemu kawan sembari berbincang “ngalor-ngidul” cukup ditemani segelas wedang dalam suasana yang nyaman.

Pembeli yang sering mengunjungi warung hik dapat menemukan suasana “diskusi” bersama pelanggan yang lain. Tradisi jagongan yang telah dimiliki masyarakat, nampaknya berlanjut di warung hik. Penikmat seakan menemukan “identitasnya” melalui budaya jagongan ini. Untuk sekedar bersantai atau mencari hiburan ditengah menumpuknya tugas kuliah, duduk sebentar dan minum segelas wedang jahe menjadi kenikmatan tersendiri agar terasa lebih rileks dan hangat.

Setiap pelanggan dapat saling beradu argumentasi dengan kondisi yang tetap guyub dan penuh toleransi sambil menikmati segelas wedang jahe atau teh panas sambil menyantap gorengan dengan aroma asap rokok. Pelanggan dengan bebas menggulirkan isue penting yang sedang ngetrend untuk kemudian dijadikan bahan diskusi bersama. Meski terjadi debat seru toh masing-masing dapat tetap saling mendengarkan dan saling menghargai.

Tradisi diskusi dalam suasana santai ini terbukti sebagai ajang berlatih mengeluarkan pendapat bagi calon pemimpin bangsa. Semoga semangat budaya jagongan dengan penuh adu argumentasi dapat menjadi media pembelajaran dalam hidup sosial bermasyarakat dan menjadi bekal berharga jika lulus kelak.

penulis :Sukawi——– penghuni kota tropis

sukawi

saya seorang yang gemar menulis jadi disini saya akan banyak menulis

Artikel yang Direkomendasikan

8 Komentar

  1. pertamaax
    salut buat pak kawi

  2. wah jadi kayak jogja, bakal saingan berat

  3. Sosialiasai adalah Jagongan itu sendiri. Jadi, budaya ini seharusnya dipertahankan di tiap-tiap daerah, karena manusia makhluk sosial. Bukan begitu pak Sukawi ?. Saya pun asli semarang lho, jadi ingin kesana. hehe..

    Salam,

  4. makanan semarang yang paling terkenal selain lumpian emang apa saja???????

  5. jadi inget masa masih single, sudah lama sekali ndak kucingan lagi:(

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *