Simpang Lima Di Suatu Minggu Pagi

 

Kawasan Simpang Lima

Setiap kota di Indonesia biasanya punya alun-alun. Sebuah lapangan besar yang menjadi pusat kota dari jaman dulu, yang menjadi tempat perhelatan acara-acara besar dan tempat berkumpulnya warga kota. Semarang juga punya, namanya Simpang Lima. Sebuah lapangan besar yang jadi pusat pertemuan 5 buah jalan. Berikut adalah cerita saya tentang alun-alun kota yang selalu dipadati warga di hari Minggu pagi itu.

Matahari masih malu-malu ketika saya tiba di sekitar Simpang Lima di suatu minggu pagi di bulan Januari. Kendaraan sudah tumpah ruah di sekitar lapangan yang dikelilingi jalan aspal berputar itu. Saya dan rombongan memarkir motor agak jauh dari pusat Simpang Lima tepatnya di jalan Gadjah Mada.

Delman di kawasan Simpang Lima

Di jalan itu sudah parkir beberapa delman yang dihias sedemikian rupa. Untuk sekali putaran mereka menarik bayaran Rp. 5.000,- . Peminat terbesarnya tentu saja para anak kecil. Tapi, jangan salah karena ada juga beberapa orang dewasa yang nampaknya menikmati naik delman dan mereka sama sekali tidak membawa anak kecil.

 

Dari jalan Gadjah Mada saya mendekat ke dalam lapangan simpang lima. Dari jauh sudah kelihatan kalau lapangan itu penuh sesak dengan manusia, sebagian adalah para pedagang dan sebagian lainnya adalah para pembeli atau sekadar pengunjung yang menikmati keramaian Simpang Lima.

Pada pedagang itu berjualan di trotoar yang melingkari lapangan rumput yang luas. Di atas paving block mereka menaruh ragam dagangan. Dari mulai pakaian, makanan, assesories, mainan, binatang peliharaan, boneka hingga buku dan majalah bekas. Suasana sudah ramai dan padat. Ratusan orang berkumpul, bahkan untuk jalan saja susah.

Di dalam lapangan sendiri, suasana tidak kalah padatnya. Beragam pedagang juga menggelar dagangannya di sana. Bukan hanya para pedagang, beberapa di antaranya mengoperasikan mainan bertenaga listrik dan batere seperti mobil mainan. Banyak anak-anak yang tertarik dan mencobanya.

Gelang

Deretan barang yang didagangkan itu memang benar-benar barang yang sesuai dengan kantong masyarakat kelas menengah ke bawah meski beberapa di antaranya bermerek persis seperti merek-merek terkenal produksi luar. Barang-barang tersebut adalah gabungan dari barang produksi lokal maupun barang import. Barang importnya dari mana lagi kalau bukan dari China.

Geliat perdagangan yang terhampar di Simpang Lima setiap hari Minggu pagi adalah contoh geliat perdagangan kelas menengah ke bawah. Saya bahkan melihat kalau sebenarnya yang terjadi bukan hanya sebuah proses perdagangan, pertukaran antara uang dan barang tapi ada yang lebih esensial dari itu. Sebuah proses yang melibatkan interaksi manusia yang berakar dari saling menghargai. Interaksi yang terjadi adalah interaksi yang hangat dan dua arah.

Berbeda dengan interaksi yang terjadi di mall berpendingin ruangan. Interaksi di mall adalah interaksi yang dingin, hanya melibatkan manusia dengan etalase atau manekin. Kalaupun ada interaksi antar manusia, kadang terhalang oleh sebuah standarisasi bernama SOP di mana para pegawai mall atau departemen store tidak bisa sebebas dan sehangat para pedagang kaki lima dalam menawarkan barang atau melayani para pembeli. Pada titik inilah menurut saya kadar humanis sebuah mall dan departement store jatuh ke titik terendah.

Pada sisi ini juga saya menganggap kalau kehadiran pasar-pasar tradisional dan tempat-tempat seperti Simpang Lima adalah penyeimbang, penyeimbang antara nafas kapitalisme yang makin kuat di jaman modern ini dengan geliat nadi ekonomi kerakyatan. Kedengarannya terlalu idealis ya ? Tapi setidaknya itulah yang saya rasakan.

Simpang Lima memberikan renungan tersendiri bagi saya di hari Minggu pagi itu.

 

 

Kaos replika Timnas

 

Ikan Mas

 

 

Bening di Simpang Lima

ipul.ji

orang biasa yang suka mencatat banyak hal dan membingkainya di blog

Artikel yang Direkomendasikan

7 Komentar

  1. nice post mas ipul…
    saya suka kalimat2 penutupnya :
    Pada sisi ini juga saya menganggap kalau kehadiran pasar-pasar tradisional dan tempat-tempat seperti Simpang Lima adalah penyeimbang, penyeimbang antara nafas kapitalisme…”

  2. keren mas ipul postingan dan foto-fotonya

  3. Dayat Rakwarasband

    wah sing bening2 iku loh…marai sregep neng simpang 5…hohohohohoho….MAntep banget liputane….tak tunggu episode selanjutnya…..Matursuwun Arigato Thanks You

  4. mantap… jadi kangen semarang….

  5. terima kasih liputannya Mas, ditunggu liputan untuk tempat-tempat yang lainnya yang ada di Semarang.

  6. simpang lama tiada duanya,,
    hehehee…

  7. wah tiap kuliah weekend, saya selalu melewati simpang lima yang penuh dengan keramaian.
    jadi banyak lihat pemandangan sebelum kuliah dimulai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *