Nyanyi Sunyi Dari Tuguredjo

Tugu dan candi Tuguredjo

Matahari tidak cukup menyengat siang itu, tapi udara lembab membuat badan terasa gerah. Saya dan beberapa kawan baru saja meninggalkan rumah makan Semarang sehabis berbincang akrab dengan pak Djongkie Tio. Lelaki yang meski sudah terlihat berumur namun tetap tegap itu adalah seorang warga keturunan yang tahu banyak tentang Semarang. Buku “Semarang Selayang Pandang” adalah salah satu catatannya tentang sejarah kota di utara pulau Jawa itu.

Dari kawasan kota Semarang, kami bergerak ke arah barat kota Semarang tepatnya ke daerah Tuguredjo arah ke Kendal. Teman-teman Semarang sedang melakukan penelitian tentang dinamika perkotaan dan menggunakan Tuguredjo sebagai salah satu benang merahnya.

Perjalan ke Tuguredjo tidak terlalu sulit. Kami akhirnya tiba di daerah yang dituju. Di daerah ini ada sebuah jejak peninggalan kerajaan Majapahit yang akan kami kunjungi. Di atas sebuah bukit ada tugu yang dipercaya sebagai peninggalan kerajaan Majapahit. Selain itu ada sebuah candi yang masih baru.

Naik ke atas bukit tidak terlalu sulit meski kami harus menapak puluhan anak tangga. Pemandangan dari atas bukit lumayan menyejukkan. Di sebelah utara terlihat lautan luas dengan sedikit genangan air yang meluber ke daratan. Sebagiannya berhenti di tambak-tambak milik warga. Sebelah timur bandara Ahmad Yani terhampar, beberapa kali pesawat terlihat mendarat dan lepas landas dari bandara itu. Di sebelah selatan tebing tinggi berdiri seperti deretan tembok tinggi penuh dengan semak dan pepohonan. Sementara di bagian barat beberapa pabrik berlomba-lomba menyeruakkan asap dari cerobongnya. Sungguh pemandangan yang saling bertolak belakang.

Ini dia tugu peninggalan Majapahit itu

Di atas bukit sendiri ada sebuah tugu dan sebuah bangunan besar berbentuk candi Hindu. Oleh pak Wahid, seorang warga sekitar yang tahu banyak tentang tugu itu kami mendapatkan cerita kalau tugu itu disinyalir adalah peninggalan jaman Majahapit.

Ada dua cerita yang mendasari asal muasal tugu itu. Cerita pertama, tugu itu adalah tempat menambatkan tali kapal pada jaman Majapahit dulu. Agak susah untuk diterima akal karena letak tugu yang terlalu tinggi dan lautan yang terlalu jauh. Cerita kedua, tugu itu adalah tapal batas kerajaan Majapahit. Ini cerita yang lebih bisa masuk di akal.

Tugu itu pertama kali direstorasi oleh pemerintah Belanda tahun 1938, terlihat dari prasasti yang ada di kaki tugu. Sedang candi dan gerbang bergaya Hindu yang ada di dekat tugu dibangun oleh sebuah korporasi bernama Tanah Mas pada tahun 1984. Sang pemilik yang juga punya banyak pabrik di sekitar tugu memang beragama Hindu dan karena itulah mereka bermaksud membangun tempat ibadah sekaligus melestarikan tugu peninggalan Majapahit itu.

Sayangnya apa yang dilakukan oleh Tanah Mas itu tidak didukung warga sekitar. Di awal-awal pendiriannya warga sekitar melakukan protes besar-besaran, termasuk warga sebuah pesantren yang berada tidak jauh dari tugu. Mereka menganggap keberadaan tugu itu menyuburkan praktek musyrik yang bertentangan dengan ajaran Islam. Itulah sebabnya candi itu kemudian tidak digunakan sebagaimana mestinya.

Adalah mas Wahid, seorang lulusan UIN yang kemudian berusaha membuka mata warga tentang keberadaan peninggalan bersejarah itu. Dia mendekati warga dengan cara yang halus hingga perlahan-lahan warga bisa menerima keberadaan tugu itu sebagai peninggalan sejarah dan bukan sebagai bagian dari praktek kemusyrikan.

Perlahan warga kemudian ikut membantu membersihkan dan merawat tugu serta candi Tuguredjo, termasuk warga pesantren yang tadinya bersikeras menolak keberadaan tugu dan candi itu. Meski terawat, tapi tugu dan candi Tuguredjo sama sekali belum bisa mendatangkan keuntungan untuk warga. Keberadaannya seperti terlupakan oleh pemerintah. Tidak ada usaha untuk mengolahnya menjadi objek wisata yang bisa mendatangkan keuntungan bagi warga sekitar.

Ketika kami berkunjung ke sana, tugu itu sudah ramai oleh coret-coretan. Candinya apalagi. Ketika kami tiba ada beberapa pasangan remaja yang sedang asyik bermesraan. Kondisi seperti ini seperti sudah sangat akrab untuk tempat-tempat wisata di Indonesia. banyak pengunjung yang memanfaatkan suasana sepi dan tidak bisa menahan kegatalan tangannya untuk menuliskan sesuatu di dinding meski itu sebenarnya sangat merusak.

Sekarang ini tugu peninggalan jaman Majapahit itu makin terancam oleh kehadiran pabrik di sekitarnya. Guncangan dan polusi yang dihasilkan pabrik lambat laun pasti akan merusak lingkungan, termasuk tugu itu. Pak Wahid dan warga sekitar sebenarnya sedang mencoba mencari cara untuk menyelamatkan tugu itu, tapi mereka tentu tidak bisa berusaha sendirian. Bagaimanapun pemerintah tetap harus turun tangan. Sayangnya, hingga sekarang belum ada perhatian dari pemerintah.

Tugu itu masih berdiri kokoh di sana. Di dalam tubuhnya pasti banyak jejak rekam sejarah yang menarik bila bisa diurai. Sayangnya dia hanya berdiri sendiri di sana, berdiri dalam sunyi tanpa tahu kapan diperhatikan.

Butuh waktu berapa lama sebelum tugu itu mendapat perhatian? Entahlah..

[dG]

ipul.ji

orang biasa yang suka mencatat banyak hal dan membingkainya di blog

Artikel yang Direkomendasikan

6 Komentar

  1. Aku malah belum pernah kesana :p

  2. berarti kamu kalah dong sama aku :P
    btw, ini blognya gak sekalian ditambahin widget komen FB sama share ke socmed? biar gampang gitu kalo mau share

  3. sudah pernah kesini…
    tapi blm dapat informasi tentang majapahit dan restorasi. wow.. dapet dari mana MAS DAENG? #eh

  4. loh dulu Tuguredjo ini daerah kekuasaan, bolak balik ngurus mangrove, aku kok gak tau yah ada candinya *NANGIS DARAH* !

  5. yess!! i beat you!!
    mwahahahahaha

  6. Itu di daerah kawasan industri candi atau kawasan industri wijaya kusuma?
    atau jangan2 itu di daerah tambak aji?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *