Karya tergila

Saya baru saja membaca sebuah artikel di detik.com tentang revisi UU Tenaga Kerja. As usual, semua hal bisa menjadi pro-cons di negeri ini. Tapi yang sempat saya baca, dari detik.com, banyak yang pihak yang tidak setuju alias kontra dengan revisi UU ini. Pihak tersebut tentunya adalah pihak pekerja; karena dinilai oleh mereka, revisi tersebut semakin ‘menyulitkan nasib’ mereka. Bahkan mereka menyebut revisi UU tersebut, karya tegila dari putra-putri bangsa Indonesia.

Saya pribadi juga sebenarnya tidak setuju dengan beberapa poin (pasal/ayat) yang direvisi. Di antaranya adalah mengenai pegawai kontrak. Kalau kita melihatnya secara short-term, dan dari employer view (yang mempekerjakan), mungkin hal itu menguntungkan, karena perusahaan tidak perlu menyediakan segala hal yang biasanya diberikan kepada pegawai tetap. (Hmm.. saya masih bingung dengan istilah pegawai dan buruh di UU tersebut. Bedanya apa sih?) Tetapi secara long-term, sebenarnya perusahaan rugi, terutama dalam hal intelectual property. Bahkan bisa jadi perusahaan secara tidak sadar dirugikan oleh pegawai kontrak sendiri. (Barangkali ini semacam trade-off antra plus-minus implementasi pegawai kontrak).

Saya cenderung setuju dengan isi UU sebelum direvisi tentang pembatasan jenis pekerjaan yang boleh menggunakan sistem pegawai kontrak (Pasal 59 ayat 1). Tapi ayat tersebut direvisi, sehingga perjanjian kerja paruh waktu (kontrak) dapat dilakukan untuk semua pekerjaan. Sekali lagi, perusahaan harusnya jangan selalu berpikir tentang duit yang kelihatan di mata. Karena biasanya (dan saya yakin banyak benarnya), pegawai kontrak hanya bekerja seperti robot, seperti mesin pemroses; ada input, diproses dan jadi produk. Tidak lebih dari itu. Mereka menjadi malas untuk memikirkan segala sesuatu untuk kepentingan yang lebih lama dari masa kontraknya. Mungkin mereka pikir, untuk apa saya bekerja dengan hati-hati terhadap peralatan kerja, toh 2 tahun lagi belum tentu saya yang menggunakan kembali. Untuk apa saya belajar sesuatu yang tidak berhubungan langsung dengan pekerjaan saya (padahal bisa jadi itu dapat dipakai jika dia terus bekerja di situ). Akibatnya perusahaan kehilangan peluang untuk mendapatkan pegawai yang berkualitas, yang selalu berkembang kompetensinya. Belum lagi masalah sosial dan segala macamnya, termasuk integritas pegawai kontrak.

Terus mengenai masa/lamanya jangka waktu kontrak, direvisi dari 2 tahun menjadi 5 tahun. Kalau menurut saya sih lebih baik dicari jalan tengahnya. Yaitu hapus peraturan penerapan pegawai kontrak. Yang ada adalah pengaturan masa percobaan kerja (probation period), dari yang biasanya 3-6 bulan diubah sampai maksimum dalam hitungan tahun. Tentunya dalam prakteknya dapat juga seorang pegawai bisa diangkat setelah 3 bulan jika memenuhi kualifikasi. Terhadap pegawai dalam masa percobaan ini, perusahaan dapat menerapkan peraturan yang berbeda dengan pegawai yang sudah diangkat. Bagi pegawai, hal ini secara psikologis akan dapat meningkatkan moral dan semangat mereka dalam bekerja, karena adanya kepastian akan diangkat sebagai pegawai tetap, dan pada akhirnya akan meningkatkan produktifitas dan perusahaan mulai dapat mendevelop kompetensi pegawai dengan lebih baik.

Ngomong2 tentang produktifitas, sebenarnya penetapan cuti bersama (yang baru diumumkan pemerintah ini) itu dapat meningkatkan atau mengurangi produktifitas ya? Hmm bingung aku,.. (**kruk.kruk..kruk — garuk2 kepala).

namora

- just namora :P

Artikel yang Direkomendasikan

1 Komentar

  1. btw, saya pegawai kontrak saat ini. dan memang gak enak… untung saya cuma main2 cari pengalaman.. tapi coba bayangkan yang sudah punya anak istri… :(

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *