Akromin sebagai identitas Kota Semarang

Bagi sebagian besar pemuda Semarang, nama “Cimall” yang merupakan kepanjangan dari Citraland Mall sudah tidak asing di telinga. Namun, bentukan baru tersebut sering kali menyisakan tanda tanya bagi para pendatang. Anak-anak muda Semarang ini memang terbiasa menyebut tempat-tempat yang asyik untuk nongkrong dengan “akronim” yang gaul.

Maka, muncullah nama-nama tempat yang menurut beberapa anak muda lebih keren dari nama aslinya. “Maplas” kepanjangan dari Matahari Plaza, “Alaska” dari Alas (hutan) karet dekat perumahan Bukit Semarang Baru (BSB), dan “Panglima” dari Lapangan Simpang Lima. “Totem” kepanjangan dari Toko Tembalang, sebuah minimarket pertama di daerah Tembalang, sampai dengan “burjo” warung yang menyediakan bubur kacang hijau, tempat mangkal anak muda. Mereka mengaku lebih menyukai bentukan kata baru dari penyingkatan nama tempat tersebut karena enak di telinga. Awalnya, singkatan tersebut hanya dikenal di komunita- komunitas anak nongkrong sebelum akhirnya menyebar.

Bagi sebagian warga suburban, penggunaan singkatan kata bisa dengan gaya “kekota-kotaan” dirasa mampu menaikkan gengsi mereka. Mereka kerap menggunakan singkatan kata karena tidak mau kalah dengan teman- temannya yang lain. Kadang-kadang kalau sudah ada satu teman yang mendapat singkatan baru, merekapun akan ikut-ikutan untuk menciptakan yang lain. Fenomena penyingkatan kata secara informal telah menjadi tren di kalangan anak muda yang ingin berbeda dengan golongan orang tua. Begitu kata singkatan tersebut sudah populer, mereka berusaha mencipta kata baru.

Maraknya penyingkatan kata sangat terkait dengan identitas Semarang. Semakin banyak remaja semakin marak bahasa gaul, singkatan telah menjadi identitas kelompok. Bunyinya kadang meniru gaya Barat karena mereka masih memandang budaya Barat lebih tinggi.

Penggunaan singkatan kata, baik secara lisan maupun tulisan, memang diperlukan sebagai variasi bahasa. Tujuannya adalah agar bahasa itu tidak terkesan “kering”. Namun demikian, penggunaannya haruslah sesuai konteks. Singkatan kata bisa jadi negatif jika salah digunakan. Hal ini jika singkatan itu dipakai di luar lingkungan komunitas penggunanya. Misalnya, orang awam tentu tidak mudah mengerti penggunaan singkatan-singkatan yang biasa dipakai dalam penyebutan suatu tempat mangkal anak muda sekarang.

Maraknya penyingkatan kata sebuah tempat berhubungan dengan tumbuhnya Semarang menjadi masyarakat modern yang cenderung mempraktiskan semua hal. Masyarakat kebudayaan tidak bisa melawan, tetapi harus membuat perimbangan untuk tetap merawat identitas kebudayaan. Harus ada yang concern mempertahankan keunikan kebudayaan. Misalnya dengan pembuatan lampu taman berbentuk tokoh wayang, penamaan ruang dengan tokoh pewayangan dan lainnya. Apa pun itu, fenomena pembentukan “akronim” baru tersebut telah menjadi semacam identitas khas masyarakat urban seperti Semarang yang banyak dihuni mahasiswa dan pelajar dari luar daerah.

penulis : sukawi —- penghuni kota tropis

sukawi

saya seorang yang gemar menulis jadi disini saya akan banyak menulis

Artikel yang Direkomendasikan

3 Komentar

  1. jadi lebih kereen dengan akronim

  2. wahhh ke taman KB yuk pak… kan burjo udah bangkrut *akronim*
    aku kalo lagi nonton tipi biasanya sambil ngemil akronim rasa keju pak..

  3. klo taman KB jadi Ngabe gitu pak hhihii

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *