Sampah lagi, sampah lagi…

Komunitas loenpia.net tentunya adalah komunitas warga Semarang yang sangat mencintai kota-nya, yaitu Kota Semarang. Tentunya keberadaan loenpia.net menjadi sia-sia jika tidak mampu memberikan sumbangan yang berarti bagi Kota Semarang tercinta. Apalagi, sebenarnya kita sudah memiliki cukup power untuk memulainya.

Banyak cara untuk menunjukkan kepedulian kita atas kota kita ini. Bisa lewat kegiatan off-line seperti “resik-resik kutha” dsb, bisa juga lewat sumbangan pemikiran melalui blog loenpia.net maupun blog masing-masing anggotanya. Tapi sebaiknya bukan sekedar mengkritik pemkot maupun warga lain, namun juga memberikan solusi maupun ide-ide yang bersifat membangun.

Untuk kali yang pertama ini, saya akan menyumbangkan tulisan mengenai “sampah”. Semoga nantinya para pengurus loenpia.net dapat menyampaikan sumbangan pemikiran ini kepada yang berwenang di jajaran pemkot Semarang.

Rasanya tidak ada seorang pun di negeri ini yang tidak mengenal kata-kata “buanglah sampah pada tempatnya” dan “kebersihan adalah sebagian dari iman”.

Tempat sampah pun sebenarnya terdapat di mana-mana. Bahkan di perumahan di kawasan perkotaan, bisa dipastikan ada satu tempat sampah  di depan tiap rumah. Tetapi kenapa sampah berserakan di mana-mana? Di jalan-jalan, di parit-parit, di sungai bahkan di pantai.

Mungkin memang perlu adanya denda tinggi bagi siapa pun yang membuang sampah sembarangan. Tapi itu saja khan tidak cukup, karena denda pada kenyataannya hanya sebuah tindakan yang bersifat reaktif. Kita perlu tindakan preventif.

Caranya, pendidikan tentang lingkungan hidup perlu diajarkan kepada anak-anak sejak usia dini. Kalau perlu hingga tingkat perguruan tinggi. Sehingga mereka akan mengerti mengapa harus membuang sampah pada tempatnya dan apa yang terjadi jika mereka mengabaikannya? Mereka pun akan tahu bagaimana harus memperlakukan alam sebagai bagian dari lingkungan hidup mereka.

Bagi orang tua, masalah sampah dan pengelolaannya khan bisa dibicarakan dalam rapat RT, arisan dan sejenisnya.

Peran pemerintah juga perlu, yaitu dalam hal pemberian sanksi/denda juga pemberian penghargaan seperti Adipura dan sejenisnya.

Sebagai pembanding, mari kita lihat kondisi di Jepang.

Di sepanjang jalan di tengah perkotaan jarang kita jumpai tempat sampah, tetapi hampir tidak terlihat adanya sampah yang tercecer atau berserakan .

Biasanya sih tempat sampah  terdapat di halte bus, stasiun kereta, pertokoan maupun di depan convenience store (warung serba ada). Itu pun dibagi-bagi lagi, satu kotak untuk kaleng dan botol, satu kotak untuk kertas (koran, majalah dll) dan satu kotak lagi untuk lainnya.

Kalau misalnya saya makan kue di jalan, maka bungkusnya harus saya kantongi hingga saya menemukan sebuah tempat sampah untuk membuangnya. Atau terpaksa bungkus kue itu saya bawa pulang dan dibuang di tempat sampah di dalam apartemen saya.

Untuk membuang sampah pun ada jadualnya. Di tempat saya, sampah dapur harus dibungkus dengan kantong plastik warna kuning yang dijual di supermarket, dengan desain dan ukuran yang sudah ditentukan oleh pemerintah kota setempat. Sampah dikumpulkan tiap hari Selasa dan Jumat pagi.

Untuk sampah berupa botol, kaleng maupun sampah kertas (koran, majalah, buku dll) dikumpulkan tersendiri pada hari yang telah ditentukan pula. Demikian juga untuk sampah besar seperti perlengkapan rumah tangga, elektronik, sepeda dll ada jadualnya tersendiri. Saya pernah membawa sampah dari perusahaan tempat saya bekerja ke sebuah perusahaan pengelola sampah. Di sana, sampah dipisah menurut jenisnya. Bahkan kaleng cat yang sudah kosong dengan yang masih ada sisa catnya pun dipisah. Perusahaan saya harus membayar biaya buang sampah yang jumlahnya tidak sedikit.

Sebuah gang di Kyoto yang tampak bersih dan indah.

Kita semestinya bisa meniru mereka. Kalau hanya membuang sampah pada tempatnya, khan tidak memerlukan uang sepeserpun. Hanya perlu kesadaran dan kemauan saja. Apalagi kalau tempat sampah sebenarnya hanya beberapa meter saja dari tempat kita berdiri.

Jika terjadi banjir, jangan lantas buru-buru menyalahkan pemerintah yang kita tahu kemampuannya sangat terbatas. Coba kita ingat-ingat dulu, berapa banyak sampah yang sudah kita buang secara sembarangan, dan coba bayangkan berapa banyak orang yang telah melakukan hal yang sama?

Jika kita sangat mengkhawatirkan kualitas hidup anak-cucu kita di masa yang akan datang, sekaranglah saatnya untuk fight demi perubahan ke arah yang lebih baik, khususnya bagi kota loenpia, Kota Semarang tercinta.

Hidup loenpia..!!

Salam dari Shikoku-Japan,

M.Taufiq Aryanto

http://www.AsianNetBisnis.blogspot.com

masfiq

working in finishing section of an ironworks company in japan

Artikel yang Direkomendasikan

3 Komentar

  1. Iya mas, ide bagus banget! cuma realisasinya… semua berpangkal dari kedisiplinan. Kalo pemerintah sudah menyediakan fasilitas2 tsb tapi warganya masih belum disiplin ya…
    Sebenarnya untuk kota dalam tahap seperti Semarang ini, fasilitas yang ada sekarang inipun mungkin sudah cukup, asalkan warganya displin dalam mengelola sampah.

    jadi inget dulu jalan2 di simpang5 bersama guru bhs inggris orang australia.. habis makan permen karet dia bingung buang kunyahannya itu, sampai akhirnya dibawa pulang lagi. iikkkh.. jijay! tapi itulah disiplin. :d

  2. Membuat bangsa kita menjadi bangsa yang disiplin, memang susah. Tapi juga bukan hal yang mustahil. Kita coba mulai dari individu kemudian secara kelompok. Kita punya Pramuka, Paskibra, Kelompok Pecinta Alam, Karang Taruna dan banyak lagi, yang bisa digunakan sebagai sarana untuk mendisiplinkan masyarakat. Di jajaran profesional ada TNI dan Polri yang lekat dengan masalah kedisiplinan.
    Gerakan Disiplin Nasional yang dicanangkan oleh pemerintah sebenarnya sebuah momen yang sangat bagus, sayang hanya hangat-hangat tahi ayam. Pemerintah seolah kehilangan energi untuk menjaga keberlanjutan gerakan tersebut.
    Jadi, pemerintah kita ingatkan lagi agar Gerakan Disiplin Nasional terus berlanjut hingga masyarakat kita bener-bener sudah menjadi masyarakat yang disiplin.
    Yang bener, rakyat disiplin dulu, baru negara bisa maju. Bukan sebaliknya.
    Kalo rakyat disiplin, negara akan punya cukup banyak uang buat membiayai pembangunan. Gak ada uang yang dikorupsi, wong rakyat udah disiplin. Gak ada suap-menyuap, kalo ditilang duitnya pasti masuk kas negara, bukan masuk kantong petugas Poltas, dll.
    Gimana kalo semua rakyat Indonesia dikirim ke Jepang biar bisa belajar disiplin?…
    :d
    Langkah awal emang sebaiknya dari diri kita sendiri. Sengtuju? Pokok-e kudu harus mesti sengtuju-laah…

    Salam hangat-hangat loenpia,

    M.T.A.

  3. Sengtuju… tapi omong-omong saya mbok dibantu tentang konsep resik-resik kuto,soale aku mau buat di kotaku yang masih kotor karena sampah yang belum baik pengelolaannya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *